PENDAHULUAN




Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut akan mengakibatkan semua bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau akan terlibat dalam suatu tatanan global yang seragam, pola hubungan dan pergaulan yang seragam khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin pesat terutama teknologi komunikasi dan transportasi, menyebabkan issu-issu global tersebut menjadi semakin cepat menyebar dan menerpa pada berbagai tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Dengan kata lain globalisasi yang ditunjang dengan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas-batas negara. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat pasca industri yang serba teknologis. Pencapaian tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan cenderung akan semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi, walaupun kualitas sumber daya manusia (SDM) masih tetap yang utama.


Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam persaingan global, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).




PEMBAHASAN


1. Sumber Daya Manusia Indonesia


Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.


Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.




2. Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia


Pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :


1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia.


2. Aspek Ekonomi.


Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di Indonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk dikuasai.


Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi.


3. Aspek Sosial Budaya.


Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional).




PENUTUP


Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini.


Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin.
Mataram, Kompas - Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih terpuruk jika dibandingkan dengan
negara-negara Asia Tenggara, bahkan di bawah Vietnam yang baru stabil kondisi politik dalam negerinya
beberapa tahun terakhir ini setelah dilanda perang saudara.
Hal itu dikatakan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief dalam
acara Silaturahim dan Muzakarah Ulama se-Pulau Lombok di Selong, Ibu Kota Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat, Minggu (9/12).
Saat itu, Lalu Mara Satria Wangsa juga menyerahkan lima unit komputer, bantuan khusus dari Menko
Kesra Aburizal Bakrie, kepada Pemkab Lombok Timur yang diterima Ali bin Dahlan, Bupati Lombok
Timur.
Rendahnya mutu SDM, ujar Sugiri, membuat bangsa Indonesia kalah bersaing di mancanegara, apalagi
dalam berkompetisi itu diperlukan penguasaan teknologi dan informasi yang ternyata juga tidak dimiliki
oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Realitas itu juga disampaikan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo dalam sambutannya.
Pada SEA Games di Thailand kali ini, kata Suryopratomo, Indonesia baru pada hari ketujuh meraih
emas.
Padahal, pada Asian Games tahun 1962, Indonesia selain sebagai tuan rumah juga menduduki urutan
ketiga peraih medali terbanyak dalam pesta olahraga antarbangsa Asia itu.
Terpuruknya SDM Indonesia terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meliputi tingkat
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Merujuk data ESCAP Population Data Sheet tahun 2006, Sugiri mengatakan, sebanyak 35,29 persen
rakyat Indonesia tidak tamat sekolah dasar, 34,22 persen tamat SD, dan hanya 13 persen yang tamat
SLTP.
Data itu menempatkan IPM Indonesia pada urutan ketujuh dari 11 negara Asia Tenggara, atau rangking
108 dari 177 negara. Vietnam yang baru terbebas dari pergolakan di dalam negeri, IPM-nya peringkat
kelima di Asean atau ke-108 dunia.
Rendahnya tingkat kesehatan bangsa Indonesia terlihat dari tingginya angka kematian ibu melahirkan,
307 dari 100.000 Kelahiran hidup (KH), sedangkan negara tetangga Singapura 25 per 100.000 KH.
(RUL)
Mengapa manusia2 di Indonesia seperti yang buta hati, mengalami krisis moral yang amat tajam. Mengapa korupsi dinegeri ini sulit diberantas? Rasanya artikel ini penting untuk dibaca :

Komersialisasi Pendidikan
Oleh SOEROSO
Dasar komersialisasi pendidikan sudah bukan bahaya melainkan kenyataan, yang lebih mencolok dalam gejala yang disebut “pajak atas kebodohan”. Cukup banyak perguruan tinggi yang uang pangkalnya berbanding lurus dengan ketidakpintaran (kebodohan) calon mahasiswanya. Makin besar angka peringkatnya, semakin bodoh dan semakin besar pula uang pangkal yang harus dikeluarkan.
Dari pada tidak diterima (karena memang tidak mampu menempuh seleksi masuk perguruan tinggi), ia dibujuk dengan uang pangkal yang tinggi, tentu saja jumlahnya jutaan rupiah. Jadi, ia didenda berat karena ada kekurangan yang melekat padanya. Yang pasti, kegugurannya masuk seleksi perguruan tinggi secara normal, di siasati dengan berbagai cara. Saat ini, populer dengan sebutan program jalur.
Banyak orang dibujuk membayar tinggi untuk menebus kegagalannya. Kalau realitasnya demikian, manusiawikah tindakan seperti itu? Begitu tulis J. Drost S.J. pada majalah Prisma dengan judul “Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan”. Kegalauan Drost yang muncul tahun 90 itu, seperti luka yang tidak sembuh-sembuh. Rekomendasinya adalah perguruan tinggi baru bisa berperan apabila unsur paling dasar kehidupan akademik, harus membawa serta nilai. Karena, nilai berarti ada harganya. Sesuatu yang dihargai, sering membuat pengorbanan. Kehidupan manusia tanpa nilai, bukan kehidupan insani. Karena, nilai menentukan mutu dan martabat hidup.

Diskusi “Kualitas Pendidikan Indonesia, Dilihat dari Perspektif Hukum dan Sosial Kemasyarakatan” (“PR”, 12 Mei 2007), kembali menguak masalah komersialisasi pendidikan. Diskusi yang dilakukan di salah satu ruangan di Unpad itu, salah seorang pembicara mempertanyakan bagaimana kaum duafa mampu memperoleh pendidikan tinggi, apabila biaya pendidikan semakin mahal. Dengan berbagai jalur, perguruan tinggi mampu menyerap dana segar dari masyarakat.
Pledoi (pembelaan) yang dikedepankan oleh perguruan tinggi, tentu saja sudah dapat ditebak yakni subsidi silang. Dana segar dengan jalur tertentu yang disedot oleh perguruan tinggi diinvestasikan kembali, dengan harapan mahasiswa dari keluarga duafa yang masuk pada jalur yang lain dapat menikmati fasilitas tersebut. Kondisi ini, dipicu oleh dana untuk dunia pendidikan yang dikucurkan pemerintah sangat terbatas. Pemerintah belum mampu melaksanakan amanat yang tertuang pada UUD 45 pasal 7 ayat 4.

Tetapi, di antara ketidakmampuan pemerintah itu, decak kagum kita sampaikan kepada Pemkot Tangerang yang telah mengucurkan dana pendidikan sebesar 42% dari APBD pada tahun 2005 dan 31% pada tahun 2006. Dari persentase itu pun di luar gaji guru. Sungguh suatu kebijakan yang luar biasa. Mungkin kegalauan para pengamat pendidikan dan sosial adalah, benarkah subsidi silang dari dana segar itu dilaksanakan secara benar. Jangan-jangan sebagian dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak mempunyai signifikan terhadap kualitas pendidikan. Kekhawatiran itu wajar-wajar saja karena dana yang diserap relatif sangat berarti. Di salah satu universitas negeri saja, untuk Fakultas Kedokteran biaya pengembangan pendidikan mencapai Rp 175 juta, Fakultas Ekonomi Rp 40 juta, FKG Rp 40 juta, Farmasi Rp 35 juta, belum lagi fakultas lainnya. Kalau dijumlahkan semuanya akan muncul juga angka yang fantastis. Tetapi, penulis tetap berprasangka baik (khusnuzon) kepada para pengelolanya. Seperti wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya: bergaullah dengan orang-orang berilmu, karena Allah menghidupkan hati mereka melalui cahaya hikmah.

Pendidikan yang selama ini cenderung hanya bertakhta pada otak manusia dan kurang mengiraukan aspek keadilan serta nilai-nilai Ilahi, telah membuat sepertiga planet bumi menjadi orang kaya, sedangkan sisanya (dua pertiga) adalah penduduk miskin. Bahkan, Indonesia pada saat sekarang ini dengan kriteria Bank Dunia penduduk miskinnya lebih dari seratus juta orang.
Konon, semuanya ini adalah produk-produk orang yang mengenyam pendidikan tinggi, karena di pundak merekalah strategi pembangunan, kebijakan, dan keputusan diletakkan.

Gaya pendidikan yang cenderung hanya mengembangkan otak kiri tanpa memperdulikan pengembangan otak kanan, juga telah menghasilkan generasi kronis dan terjadinya split personality”. Tidak ada keseimbangan antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, sehingga tidak ada integrasi antara otak dan hati. Negeri ini yang lebih menekankan nilai akademik, kurang memberikan bobot kepada masalah kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip-prinsip kepercayaan, penguasaan diri, atau sinergi, telah membentuk manusia Indonesia seperti yang kita saksikan saat ini.
Satu kualitas sumber daya manusia yang patut dipertanyakan. Manusia yang buta hati, dengan krisis moral yang tajam. Pada sisi lain pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai religius tidak di pahami atau dimaknai secara mendalam, tetapi lebih pada tataran dan pendekatan simbol-simbol dan acara ritual. Fenomena ini dengan telanjang kita saksikan bagaimana pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Investasi yang besar di dunia pendidikan (human investment), yang dilakukan apabila keluar dari roh pendidikan itu sendiri alangkah celakanya. Karena, manusia yang dibangun bukan manusia yang berempati terhadap proses pembangunan yang sedang terjadi, tetapi serigala-serigala ganas dan buas yang tidak pernah puas untuk menindas manusia lainnya. Apabila niat suci subsidi silang dengan membidik dua segmen calon mahasiswa dan mampu meramu proses pendidikan yang bermoral, yang mempunyai hati nurani, yang bermutu, maka pembukaan jalur tertentu dengan menyedot dana segar dari masyarakat tidaklah terlalu keliru. Apalagi jalur tersebut dilakukan juga dengan cara proses seleksi yang jujur.
Inilah salah satu terobosan untuk terus mengupayakan agar pendidikan di negeri ini semakin bermutu dan mampu berbicara pada ranah internasional. Orang-orang berilmu itu dan manusia-manusia yang telah memutuskan pilihan hidupnya di dunia pendidikan agaknya perlu membaca apa yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim Al Jaujiyyah, dalam bukunya Taman-taman Orang Jatuh Cinta: Orang berilmu ibarat tanah yang siap diinjak oleh orang yang baik dan buruk, atau seperti hujan yang turun membasahi kepada orang yang suka dan tidak suka. Orang berilmu tidak layak disebut sebagai orang berilmu, kecuali bila ia dianugerahi kerajaan, ia tidak akan berpaling dari Allah. Orang berilmu adalah orang yang lemah lembut di hadapan Allah, tetapi tegar di hadapan selain Allah. Sedangkan Dzun an-Nun al Mishri mengatakan: Segala sesuatu mempunyai kesudahan atau akhir dan kesudahan orang berilmu tatkala ia berhenti berzikir kepada Allah.

Dalam Megatrends 2000 Jhon Naisbitt dan Patricia Abburdene mencatat bagaimana peran-peran orang berilmu, orang-orang jebolan pendidikan tinggi memberikan konstribusi terhadap proses pembangunan. Jhon Naisbitt tetap memberikan dukungan penuh terhadap dinamika pendidikan, yang memberikan keseimbangan antara kedua otak yang ada sehingga prinsip-prinsip demikian lebih egaliter dan menghargai arti kehidupan. Karena diyakini bahwa kehidupan yang dijalani dengan warna spiritualisasi, akan menuai keberhasilan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, kita tidak perlu terkejut ketika kita menemukan banyak orang-orang yang suci, sufi, mistikus, bukan hanya di tempat-tempat ibadah orang Islam, Nasrani, Buddha. Tetapi mereka bertebaran di berbagai fakultas yang ada di perguruan tinggi. Manusia-manusia seperti inilah yang mampu menggerakkan dinamika perguruan tinggi secara jujur, arif, serta terhormat dan bermutu, sehingga cita-cita kehadiran perguruan tinggi di negeri ini benar-benar bermakna bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung. Jangan sampai perguruan tinggi menyimpang dari the idea of on university. Karena, seorang mujahid adalah yang haus dan dahaga untuk mencicipi ilmu, maka setiap insan sadar bahwa Rasulullah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu.